Kamis, 28 April 2011

KASUS TIDAK KONSISTENNYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA 2006

Berikut ini salah salah satu kasus yang tidak konsisten di Indonesia.

Jakarta, 18 Juni 2006 09:20

Perusakan lingkungan hidup yang bermuara pada berbagai bencana alam di Indonesia terjadi karena penegakan hukum tidak konsisten.

"Penegakan hukum yang tidak konsisten itu akibat ketiadaan peradilan khusus lingkungan hidup di Indonesia," kata Deputi Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Masnellyati Hilman, di Jakarta, Sabtu.

Ditemui setelah acara final lomba menulis esai tingkat SMA se-Indonesia di Jakarta Convention Center dia mengungkapkan, bencana alam yang sering terjadi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan pengelolaan sampah, karena pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan, misal analisis dampak lingkungan dan tata ruang.

"Sebenarnya sudah banyak perangkat berupa aturan yang jika dipatuhi pasti tidak berdampak buruk seperti sekarang ini. Tapi sering terjadi pelanggaran karena tidak adanya peradilan khusus lingkungan, penegakan hukum jadi tidak konsisten," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Staf Ahli Menneg Lingkungan Hidup urusan isu lingkungan dan kerjasama internasional, Agus Purnomo. Menurut dia, perusakan lingkungan yang terus berlangsung akibat tidak konsistennya pengawasan dan penindakan hukum pada para pelanggar.

Para perusak lingkungan, kata Masnellyati, merasa aman menjalankan aksinya karena ketiadaan peradilan khusus yang mengawasi pelaksanaan peraturan perlindungan lingkungan hidup secara terus menerus, serta memberikan hukuman tegas bagi pelanggar.

"Tindakan yang sering terjadi misalnya, menebang pohon di kawasan hutan lindung, mendirikan rumah di kawasan dengan kemiringan lebih dari 40 derajat," kata dia.

Peradilan biasa, katanya, tidak bisa menangani kasus perusakan lingkungan hidup. "Saya sudah capek menjadi saksi ahli dalam kasus di peradilan biasa karena sebagian besar gagal, karena ketidakpahaman hakim dan jaksa pada masalah lingkungan, bukan hukum saja," ujarnya.

Ia memberi contoh kasus PT Jatim Jaya Perkasa yang membakar lahan sehingga menimbulkan polusi udara. "Alat pemantau kita di Pekanbaru jelas-jelas membaca penyebab masalah itu muncul dari PT Jatim tapi hakim berketetapan dengan logika hukum awam," ujarnya.

Aparat peradilan seperti jaksa, hakim dan kepolisian, kata dia, dalam menyelesaikan kasus hukum di bidang lingkungan hidup seharusnya memperkaya pengetahuannya bukan dengan wawasan lingkungan hidup.

Ia membandingkan keadaan tersebut dengan yang terjadi di Amerika. "Hakim Amerika selain menguasai pengetahuan praktis soal hukum juga memperkaya dengan pengetahuan lingkungan yang komprehensif," katanya.

Keputusan-keputusan dalam peradilan khusus lingkungan itu, kata dia, dibukukan dan kemudian menjadi yurisprudensi.

Rencana Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengenai peradilan khusus lingkungan hidup mencuat sejak sekitar Desember tahun lalu.

Tetapi sampai kini rencana tersebut terhambat karena sistem peradilan di Indonesia yang hanya mengenal empat macam peradilan, yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan administrasi, dan peradilan agama.

Menurut Masnellyati, kegagalan rencana terdahulu juga karena belum siapnya perangkat-perangkat peradilan seperti jaksa, hakim, polisi yang menanganai masalah lingkungan hidup hanya memiliki wawasan hukum saja tanpa melengkapi dengan wawasan lingkungan hidup.

Peradilan khusus lingkungan, kata dia, bisa terwujud jika ada kerjasama berbagai pihak misalnya KLH, kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian.

"Jadi sekarang kami sedang memberikan pelatihan pada perangkat-perangkat peradilan tersebut dengan pengetahuan seputar perkara-perkara lingkungan hidup," ujar dia.

Menteri Negara Rahmat Witoelar di Gunung Pancar, Sentul, Jawa Barat, Senin (5/6), mengatakan kerusakan lingkungan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.

Data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menyebutkan, pada periode 1998-2004 terjadi 1.150 kali bencana dengan korban jiwa 9.900 orang dan kerugian sebesar Rp5,922 miliar.

Jika dirinci lebih jauh, bencana banjir terjadi 402 kali dengan korban 1.144 jiwa dan kerugian Rp647,04 miliar. Kebakaran 193 kali, korban 44 jiwa, kerugian Rp 137,25 miliar. Tanah longsor 294 kali dengan korban 747 jiwa, kerugian Rp 21,44 miliar.

Kegagalan dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam, menjadikan Indonesia berada di ambang bencana ekologi yang serius.

Banyaknya kasus kerusakan lingkungan, seperti pencemaran limbah industri, kesemrawutan pengelolaan sampah, kebakaran hutan, dan pencurian kayu menggambarkan rendahnya kualitas pengelolaan lingkungan itu. [TMA, Ant]

Sumber :
http://www.gatra.com/2006-06-20/versi_cetak.php?id=95496

Tidak ada komentar:

Posting Komentar